Senin, 14 Mei 2012

[Kisah Nyata Surat] Seorang Ayah Kepada Anaknya Yang Sudah Meninggal





Apa kabar Libby?
Akhir-akhir ini ayah kangen dan ingat terus sama libby, apalagi dinegara kita saat ini sedang berjangkit penyakit demam berdarah. Virus yang mengantarkan libby menghadap Tuhan YME.
Ayah inget hamper satu tahun yang lalu. Sejak hari Sabtu tgl 19 April 2003, Libby sudah mengeluh kurang enak badan , ayah langsung membawa libby ke dokter speciallis Libby di Mall Ambasador hari itu juga untuk mendapatkan perawatan. Dokter waktu itu menyatakan bahwa Libby sakit radang tenggorokan.


Walaupun sudah agak membaik, hari Senin 21 April 2003 Libby tidak sekolah dulu agar bisa beristirahat dan lagipula besok libby akan perform balet untuk pertama kalinya. Ketika ayah pulang kantor, Libby sangat excited untuk segera perfom ballet besok harinya. Ayah juga ingat libby tunjukkan semua costum yang telah dimiliki. Kamu memang sangat-sangat menyenangi ballet. “Ayah lihat libby perform besokk khan?” Tanya Libby pada ayah, yang ayah langsung jawab iya.


Keesokan harinya tanggal 22 april 2003, ayah sengaja mengambil cuti agar bisa leluasa hadir keperformance ballet Libby yang pertama. Pukul 6.15 Ayah mengantarkan Libby sekolah, sepanjang perjalanan Libby terus berbicara mengenai performace ballet (suatu ritual yang hampir setiap hari ayah jalani bersama Libby ketika Libby sudah mulai TK di Lab. School Rawamangun). Karena hari itu cuti, ayahpun bisa menjemput Libby ketika pulang sekolah Pukul 11.30, Libby sangat senang ayah jemput karena tidak biasa-biasaynya ayah bisa jemput kamu. Dalam perjalanan pulang Libby bertanya sama ayah? “Ayah, siapa Kartini itu?” lalu ayah jawab “Kartini itu seorang putri yang berjasa pada kaum wanita makanya diperingati sebagai hari kartini.” Kemudian Libby bertanya lagi “kok putri tidak pakai baju cinderella” (Libby tahunya gambaran Putri adalah seperti yang digambarkan dalam karakter Disney).


Ayah berusaha menjawab semua pertanyaan “Kartini sudah mennggal ya ayah?”, ayah jawab iya. Libby masih terus memborbardir ayah dengan pertanyaan, “Kalau Libby mau diperingati harus meninggal dulu ya ayah? Ayah agak bingung juga menjawabnya, namun akhirnya ayah jawab tidak perlu karena ada juga yang masih hidup sudah diperingati”.
Pertanyaan itu tadinya hampir tidak ada artinya kecuali contoh lan dari curiosity kamu yang sangat tinggi, namun belakangan ayah mulai menyadari bahwa mungkin itu adalah firasat tepat seminggu sebelu kepulangan kamu ke TuhanYME.
Ketika perform ballet, ayah inget Libby kelihatan masih lemas, belum lagi beberapa temen kamu tidak menari dengan baik sehingga secara keseluruhan penampilannya tidak terlalu menggembirakan. Kamu yng sangat perfectionist kelihatan sangat kecewa dengan penampilan kelompokmu yang kurang kompak.


Ketika pulang, Libby kelihatan agak murung, ayah terus menerus berusaha untuk menghibur Libby dengan mengatakan bahwa performance-,mu cukup baikk. Tapi tidak dapat ditutupi bahwa Libby kecewa sekali. Hari Kamis malam, Libby anas lagi sampat 40 derajat. Tanggal 25 April 2003, Libby ulang tahun yang ke-5, kamu masih sakit sehingga tidak masuk sekolah. Ayah dan Mommy kembali membawa kamu ke dokter, dokter mengatakan bahwa jikasampai Senin belum turun juga panasnya, senin harus diambil darah.
Tanggal 26 April 2003 Libby ulang tahun yang ke-5 di MC-Donald Arion. Libby sudah mulai turun panasnya hanya masih kelihatan lemas. Pesta ini adalah permintaan pertama Libby karena biasanya ulang tahunmu hanya dirayakan di sekolah dengan membawa kue ulang tahun saja. Entah kenapa Libby menginginkan pesta di MCDonald lengap dengan badutnya. Ayah minta maaf sama Libby karena terlambat mengurusnya, badut yang diminya kamu tidak bisa hadir di pesta, ayah tidak tahu bahwa MC-Donald tidak memperbolehkan badut dari luar.


Libby kelihatan kecewa dengan ketidakhadiran badut itu karena ternyata kamu sudah bercerita pada temen-temenmu bahwa di Pestanya aka nada badut teletubies (Ayah sangat-sangat menyesal tidak bisa memenuhi permintaan Libby, maafin ayah ya Lib).
Libby ngomong, “Badutnya nggak bisa datang ya, yah? Gimana ya nanti Libby dibilang pembohong sama temen-temen. Tapi nggak apa-apalah temen-temen pasti ngerti”. Libby adalah seorang yang sangat patuh terhadap janji, kamu tidak mau mengecewakan orang lain.
Pulang dari pesta Libby kelihatan sakit lagi, ayah mencoba untuk menghibur kamu dengan melakukan kompres dan lain-lain panas kamu tidak turun-turun hadiah yang banyak pun hamper-hampir tidak kamu sentuh, hanya saja percakapan kita yang ayah masih sangat ingat. Libby ingat nggak ketika ayah Tanya .” Lib, uang yang dari Nini kan banyak, mau dibeliin apa sama Libby, beliin mainan ya!?” Libby malah bilang sama ayah “ayah, mainan libby sudah banyak sekali.. bahkan sebagain mau Libby kasiin ke orang miskin, kasihan khan mereka nggak punya mainan.. libby mau kirim bunga yang banyak sekali untuk nini.. Nini pasti senang..”


Ayah kaget dengar jawaban Libby tapi sama sekali tidak menyangka apa-apa. Belakangan ayah baru sadar ini adalah tanda-tandamu yang lain karena waktu sebelum pemakaman ternyata rumah nini tepat kamu disemayamkan dipenuhi oleh bunga-bunga yang bersimpati sama kita.
Libby ingat nggak hari minggu ayah dan Mommy bahwa Libby kerumah sakit Bunda untuk diambil darah karena ayah tidak mau nunggu lgi sampai hari Senin. Ayah inget Libby minta ayah A&W dan minuman Fruity strawberry, ayah seneng sekali Libby minta makan karena sudah dua hari kebelakang Libby susah makan, Libby nggak pernah mengeluh sakit perut Cuma mengeluh pusing saja dan mual,
Besoknya mommy membawa hasil test darah kedokter lagi, trombosit kamu masih 149.000 . kata dokter Libby terkena gejala Thypus dan disarankan untuk istirahatdan banyak minum, sore harinya panas Libbi sudah mulai turun, ayah seneng sekali pada saat itu, bahkan ayah telepon ke Bandung untuk member tahu bahwa Libby sudah turun panasnya, Cuma pada saat itu Libby masih sangat lemas dan masih Muntah,


Ayah pikir libby sudah mendingan . Malamnya ternyata libby terus mengigau dalam tidur, ayah, mommmy dan uti nggak berhenti berdoa, kita putuskan untuk membawa kamu ke dokter lagi first thing in the morning. Sama sekali tidak terbersit dalam pikiran ayah bahwa Libby mungkin sudah mulai didekati oleh malaika. Panas kamu sudah turun sekali ke 36 derajat.
Keesokan harinya Libby diantar sama mommy dan uti ke dokter lagi, di dokter menurut mommy trombosit kamu sudah turun ke 59.000 dan langsung diperinthkan untuk masuk rumah sakit. Mommy membawa kamu ke RS Mitra Jatinegara karena kata dokter, disana PICU (ICU anak-anak)nya cukup baik.
Kata Mommy , dalam perjalanan Ke RS, kamu masih minta mie dan pisang. Mommy inget di dalam mobiil Libby ngomong, “Ma, kok orang-orang itu tidurnya aneh ya?” Mommy nggak bisa jawab Cuma bilang ,” Libby kuat ya..” sampai di rumah sakit Libby sudah nggak sadar, ketika ditaruh di bed gawat darurat , Libby langsung kejang dan pergi untuk selamanya sebelum dokter sempat melakukan pertolongan apa-apa.


Ayah minta maaf ya Lib nggak bisa nemenin kamu pulang kerumah kamu di surga. Ayah ngerasa bodoh sekali malah ikut meetingdi kantor ketika kamu sedang berjuang dengan maut. Tapi memang jalannya sudah harusbegitu, ayah rela Libby pulang ke rumah pemilik Libby karena ayah hanya diberi kesempatan untuk merawat Libby selama tepat 5 tahun.
Mommy sekarang sedang hamil lagi. Adelle sudah mulai cerewet, maunya sekarang pakek baju punya Libby terus. Kemaren-kemaren dia terus berbicara mengenai kamu, Libby dateng ke mimpinya Adelle ya? Ya udah dulu ya Lib, ayah harus kerja dulu,, ayah mau buat surat buat temen-temen ayah biar mereka belajar dari pengalaman kita.


Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=14456196

Jumat, 04 Mei 2012

Telepon Cinta dari Bapak


Hari itu, langit Jakarta sudah mulai menguning, burung-burung telah kembali ke sangkarnya, matahari sedikit demi sedikit merangkak tenggelam di ufuk barat. Ku habiskan waktuku  di depan netbook kecil sambil menunggu adzan Maghrib berkumandang. Tiba-tiba hape ku bergetar, ada telepon masuk, ku lihat di situ tertulis nama “Bapak”. Segera ku angkat telepon dari beliau…
”Halo, piye kabare le? Akeh dongo yo (Halo, gimana kabarnya?)”
Kemudian Bapak membacakan sebuah doa, yang sebenarnya aku sendiri sudah tidak asing dengan doa itu, hanya saja, mulut ini ternyata telah jarang melafadzkan doa ini… “La ilaha illa anta subhanaka inni kuntu minadzolimin”, kata beliau, saya di suruh untuk membaca doa ini, dan semoga mendapatkan daerah penempatan terbaik, setelah itu telepon pun di tutup.
Dialog singkat dengan Bapak sore itu seakan memberikan sebuah pengingatan besar padaku, seolah olah aku kembali di ingatkan, kembali di tepuk, untuk kembali mengingat Sang Maha Pencipta. Berbagai rutinitas yang melelahkan, rutinitas yang membosankan ternyata membuat diri ini lalai, seolah-olah bapak ku ingin berpesan: “Le, elingo… Nak ingatlah, bahwa kita terlalu berkubang dalam kemaksiatan, terlalu zhalim, dan menjadi hamba-hamba Allah Yang Lalai, kita seakan hanya butuh Allah ketika kita sedang membutuhkan.”
Degg, aku pun hanya bisa tertunduk… Seolah-olah inilah teguran Allah buat saya, lewat nasihat Bapak saya. Memang, hari-hari itu adalah masa-masa mendebarkan, menunggu pengumuman penempatan tugas dari instansi tempat saya bekerja, di mana kami dituntut harus siap di tempatkan di seluruh wilayah Indonesia. Bukan hanya saya yang berdebar-debar, keluarga di rumah pun selalu menanyakan tentang kabar penempatan.
Sore itu Bapak ku kembali mengajarkan dan mengingatkan akan sebuah doa yang mulai jarang ku baca, ya doa Dzun Nun yang ternyata adalah doa yang luar biasa.  Bapak saya memang bukanlah seorang Kyai, ataupun seorang ustadz, akan tetapi saya yakin, atas petunjuk dari Allah lah, Bapak tergerak hatinya untuk menelepon saya dalam rangka mengingatkan kembali doa itu.
Ternyata doa itu sangatlah istimewa, saya bukan lah mufassir atau ahli tafsir, saya sedikit mengambil pelajaran bahwa doa ini paling tidak mengandung tiga komponen: yaitu pengakuan Tauhid, pengakuan kekurangan diri, dan berisi permohonan ampun (istighfar), subhanallah doa singkat tapi luar biasa. Saya pun penasaran, dan kemudian mencari di internet tentang doa ini, dan akhirnya menemukan sebuah hadits,” Doa Dzun Nuun (Nabi Yunus) ketika ia berdoa dalam perut ikan paus adalah: LAA ILAAHA ILLAA ANTA SUBHAANAKA INNII KUNTU MINAZH ZHAALIMIIN (Tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Maha Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk di antara orang-orang yang berbuat aniaya). Sesungguhnya tidaklah seorang muslim berdoa dengannya dalam suatu masalah melainkan Allah kabulkan baginya.” (HR. Tirmidzi no. 3505. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Aku pun kembali terhenyak… Subhanallah, tidaklah seorang muslim berdoa dengannya dalam suatu masalah melainkan Allah Kabulkan Baginya”.
Sore itu… Bapak telah memberikan pelajaran yang berharga bagiku. Aku yakin, itulah salah satu wujud cinta seorang bapak kepada anaknya. Saya bukanlah seorang anak yang dekat dengan sosok seorang Bapak, seorang anak yang lebih banyak berinteraksi dan komunikasi dengan sang Ibu. 
Mungkin itulah cara ayah mencintai anaknya, mereka mempunyai cara-cara sendiri untuk mencintai anaknya. Dialog-dialog yang singkat, padat, mungkin itulah cara Bapak, seorang Ayah tak selalu punya ungkapan untuk mengapresiasi kita, saya yakin, bahwa mempunyai Bapak adalah sebuah anugerah, mempunyai ayah adalah sebuah keberuntungan. 
Betapapun mungkin di luar sana banyak anak-anak yang tersakiti oleh ayahnya, ataupun banyak anak-anak yang merasa jauh dari ayahnya, ayah kita tetaplah ayah kita. Mengantarkan kita lahir ke dunia ini adalah tetap salah satu kebaikan darinya. Di dalam diri kita, mengalir darah nya, kita adalah darah dagingnya. Dan sudah sepantasnyalah nama Bapak masuk dalam daftar deretan nama orang-orang yang kita doakan
Telepon dari Bapak sore itu, mungkin salah satu wujud cintanya pada anaknya. Seorang Bapak yang menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Terima kasih Bapak… Teleponmu sore itu adalah telepon cintamu.


Sumber: http://www.dakwatuna.com/2012/05/19835/telepon-cinta-dari-bapak/#ixzz1ttHkbXqK

Jumat, 13 April 2012

Lihatlah, Dialah Suamimu!




Wahai para istri, pernahkah kau perhatikan lebih jauh tentang sosok perkasa yang ada dirumahmu, yang menjadi separuh nyawamu itu, dan yang menjadi teman seumur hidup bagimu untuk menghabiskan hari?
Lihatlah dia dalam tidurnya...
Tidur nyenyaknya seakan menggambarkan betapa seharian ini beliau begitu lelah guna mencukupi nafkah untukmu. Dia menyingsingkan lengannya dan mengusap keringatnya, demi dirimu untuk sebuah tercukupi. Katup sayu matanya mungkin tengah menahan derasnya air mata dalam tidur, karena jebolnya bendungan hati yang kian tergerus setumpuk masalah hidup. Tapi semua masih tertahan, karena tidak akan tega membiarkan kau dan keluargamu terlunta.
Lihatlah kaki kuat itu...
Dia yang menopang tubuh renta suamimu, yang menjadi penopang ketika harus menyusuri dunia untuk sebuah kebahagiaanmu, wahai wanita. Bahkan seperti yang di sabdakan Nabi Muhammad salallahu alaihi wassalam, jikapun memang sesama manusia boleh bersujud, maka di kaki itu, kau harus meletakkan sujudmu dan memasrahkan tanganmu kepadanya.
Lihatlah gurat garis wajahnya...
Kulitnya yang legam dan kasar itu menandakan beratnya perjuangannya. Seakan disana terukir sebuah perjuangan yang begitu melelahkan namun menenangkan seluruh anggota keluargamu. Dengan tanpa keluh walaupun sesekali bimbang dalam melintasi, namun tetep menyediakan pundak yang kuat, dan dada yang lapang demi kau bersandar. Lihatlah gurat wajah lelah itu, yang seakan semakin rapuh dari hari ke hari namun tetap teguh demi sebuah yang bernama tanggung jawab.
LIhatlah para istri yang sholihah, dialah suamimu!!

Lihatlah tangannya...
Rasakan tangan berkulit kasar itu yang semakin hari semakin terasa kasar. Tangan itulah yang telah menyelamatkanmu menuju sebuah kehormatan dan menggandengmu pada sebuah perlindungan. Tangan inilah yang terkait dengan hati mereka dimana mereka seumur hidup menghabiskan hari harinya untuk memenuhi kebutuhan dan kesenanganmu.
Lihatlah mata mereka
Pandangan teduh itulah yang mendamaikanmu. Mengajakmu dengan lindungan dalam kekuatan mereka. Berharap kedamaian menyelimutimu, menghapus sedihmu dan kembali membawa senyum untukmu, wahai para istri. Pandangan teduh itu yang mengoyak arogansi dan kekuatan mereka demi sebah mencintai makhluk sepertimu. Pandangan teduh yang juga begitu lelah.
Wahai para istri, betapa banyak suami yang tidak dapat memejamkan mata mereka karena beratnya pikiran dan tanggung jawab mereka saat ini. Subhanallah, maka bahagiakan dan alihkan sedikit beban mereka dengan sebuah kesenangan dan kesyukuran karena kehadiranmu. Bahagiakan mereka dengan meminimalisir keluhanmu atas mereka, dan menghadirkan senyum hari- hari mereka.
Lihatlah ketulusan hati mereka...
Seorang lelaki yang dengan penuh pengayoman tulus dan pengabdian penuh, telah menghabiskan jatah umur mereka demi memegang kendali kapal rumah tanggamu. Mereka tak mengharapkan balas kecuali kesetiaanmu. Mereka tak mengharapkan puji kecuali kepandaianmu menjaga anak- anak mereka. Mereka tak mengharapkan pamrih kecuali dengan kebahagiaan karena terjaganya bidadari yang ada dirumahnya, yaitu dirimu sendiri. Dialah pemimpin yang sholeh dan bertanggungjawab itu, dialah suamimu, wahai para istri.
Sungguh para wanita, ridho suamimu adalah kunci surga dunia bagi dirimu dan surga akherat untuk kau dan keluargamu. Maka hargailah beliau, lebih dari dirimu sendiri. Maka dahulukan pertimbangan mereka diatas ego dan kemauanmu. Maka rendahkan suaramu, walaupun mungkin dalam amarahnya yang sempat memuncak. Tak apalah jika mengalahmu bisa menjadi sedikit balasan bagi kelegaan hati mereka. Allah akan tersenyum kepadamu, Allah akan ridho kepadamu, surgapun akan merindukanmu atas semua kebesaran hati dan keluasan jiwamu.  Maka jangan kau teruskan kemanjaanmu dengan tetap terus menuntut tentang apa yang mereka bisa bagikan dengan lebih untuk dirimu, namun tanyakan kepada batinmu sendiri, sudah sejauh mana kau telah menjadi berkah dalam kehidupan beliau, suamimu sendiri. Dan...sudahkah hari ini kau mengucapkan kata terimakasih untuknya, seraya mencium tangannya yang mulia?



Senin, 02 April 2012

Ketika Kita Harus Memilih





Disaat menuju jam-jam istirahat kelas, dosen mengatakan pada mahasiswa/mahasiswinya:

“Mari kita buat satu permainan, mohon bantu saya sebentar.”

Kemudian salah satu mahasiswi berjalan menuju pelataran papan tulis.

DOSEN: Silahkan tulis 20 nama yang paling dekat dengan anda, pada papan tulis.

Dalam sekejap sudah di tuliskan semuanya oleh mahasiswi tersebut. Ada nama tetangganya, teman kantornya, orang terkasih dan lain-lain.

DOSEN: Sekarang silahkan coret satu nama diantaranya yang menurut anda paling tidak penting !

Mahasiswi itu lalu mencoret satu nama, nama tetangganya.

DOSEN: Silahkan coret satu lagi!

Kemudian mahasiswi itu mencoret satu nama teman kantornya lagi.

DOSEN: Silahkan coret satu lagi !

Mahasiswi itu mencoret lagi satu nama dari papan tulis dan seterusnya.

Sampai pada akhirnya diatas papan tulis hanya tersisa tiga nama, yaitu nama orang tuanya, suaminya dan nama anaknya.

Dalam kelas tiba-tiba terasa begitu sunyi tanpa suara, semua Mahasiswa/mahasiswi tertuju memandang ke arah dosen, dalam pikiran mereka (para mahasiswa/mahasiswi) mengira sudah selesai tidak ada lagi yang harus dipilih oleh mahasiswi itu.

Tiba-tiba dosen memecahkan keheningan dengan berkata, “Silahkan coret satu lagi!”

Dengan pelahan-lahan mahasiswi itu melakukan suatu pilihan yang amat sangat sulit. Dia kemudian mengambil kapur tulis, mencoret nama orang tuanya.

DOSEN: Silahkan coret satu lagi!

Hatinya menjadi binggung. Kemudian ia mengangkat kapur tulis tinggi-tinggi. Lambat laun menetapkan dan mencoret nama anaknya. Dalam sekejap waktu, terdengar suara isak tangis, sepertinya sangat sedih.

Setelah suasana tenang, Dosen lalu bertanya, “Orang terkasihmu bukannya Orang tuamu dan Anakmu? Orang tua yang membesarkan anda, anak adalah anda yang melahirkan, sedang suami itu bisa dicari lagi. Tapi mengapa anda berbalik lebih memilih suami sebagai orang yang paling sulit untuk dipisahkan ?

Semua teman sekelas mengarah padanya, menunggu apa yang akan di jawabnya.

Setelah agak tenang, kemudian pelahan-lahan ia berkata, “Sesuai waktu yang berlalu, orang tua akan pergi dan meninggalkan saya, sedang anak jika sudah besar setelah itu menikah bisa meninggalkan saya juga, yang benar-benar bisa menemani saya dalam hidup ini hanyalah suami saya.”


=================================================================

Note :
Terkadang dalam hidup ini kita sering di hadapkan akan pilihan sulit. Dan kita harus melalui semua itu dengan hati yang lapang.




Sumber : http://www.kaskus.us/showthread.php?t=5507105

Senin, 26 Maret 2012

Aku mulai mengerti cinta ketika maut menjemput Suamiku!!




Semoga peristiwa di bawah ini membuat kita belajar bersyukur untuk apa yang kita miliki :
Aku membencinya, itulah yang selalu kubisikkan dalam hatiku hampir sepanjang kebersamaan kami. Meskipun menikahinya, aku tak pernah benar-benar menyerahkan hatiku padanya. Menikah karena paksaan orangtua, membuatku membenci suamiku sendiri.



Walaupun menikah terpaksa, aku tak pernah menunjukkan sikap benciku. Meskipun membencinya, setiap hari aku melayaninya sebagaimana tugas istri. Aku terpaksa melakukan semuanya karena aku tak punya pegangan lain. Beberapa kali muncul keinginan meninggalkannya tapi aku tak punya kemampuan finansial dan dukungan siapapun. Kedua orangtuaku sangat menyayangi suamiku karena menurut mereka, suamiku adalah sosok suami sempurna untuk putri satu-satunya mereka.

Ketika menikah, aku menjadi istri yang teramat manja. Kulakukan segala hal sesuka hatiku. Suamiku juga memanjakanku sedemikian rupa. Aku tak pernah benar-benar menjalani tugasku sebagai seorang istri. Aku selalu bergantung padanya karena aku menganggap hal itu sudah seharusnya setelah apa yang ia lakukan padaku. Aku telah menyerahkan hidupku padanya sehingga tugasnyalah membuatku bahagia dengan menuruti semua keinginanku.

Di rumah kami, akulah ratunya. Tak ada seorangpun yang berani melawan. Jika ada sedikit saja masalah, aku selalu menyalahkan suamiku. Aku tak suka handuknya yang basah yang diletakkan di tempat tidur, aku sebal melihat ia meletakkan sendok sisa mengaduk susu di atas meja dan meninggalkan bekas lengket, aku benci ketika ia memakai komputerku meskipun hanya untuk menyelesaikan pekerjaannya. Aku marah kalau ia menggantung bajunya di kapstock bajuku, aku juga marah kalau ia memakai pasta gigi tanpa memencetnya dengan rapi, aku marah kalau ia menghubungiku hingga berkali-kali ketika aku sedang bersenang-senang dengan teman-temanku.

Tadinya aku memilih untuk tidak punya anak. Meskipun tidak bekerja, tapi aku tak mau mengurus anak. Awalnya dia mendukung dan akupun ber-KB dengan pil. Tapi rupanya ia menyembunyikan keinginannya begitu dalam sampai suatu hari aku lupa minum pil KB dan meskipun ia tahu ia membiarkannya. Akupun hamil dan baru menyadarinya setelah lebih dari empat bulan, dokterpun menolak menggugurkannya.

Itulah kemarahanku terbesar padanya. Kemarahan semakin bertambah ketika aku mengandung sepasang anak kembar dan harus mengalami kelahiran yang sulit. Aku memaksanya melakukan tindakan vasektomi agar aku tidak hamil lagi. Dengan patuh ia melakukan semua keinginanku karena aku mengancam akan meninggalkannya bersama kedua anak kami.

Waktu berlalu hingga anak-anak tak terasa berulang tahun yang ke-delapan. Seperti pagi-pagi sebelumnya, aku bangun paling akhir. Suami dan anak-anak sudah menungguku di meja makan. Seperti biasa, dialah yang menyediakan sarapan pagi dan mengantar anak-anak ke sekolah. Hari itu, ia mengingatkan kalau hari itu ada peringatan ulang tahun ibuku. Aku hanya menjawab dengan anggukan tanpa mempedulikan kata-katanya yang mengingatkan peristiwa tahun sebelumnya, saat itu aku memilih ke mal dan tidak hadir di acara ibu. Yaah, karena merasa terjebak dengan perkimpoianku, aku juga membenci kedua orangtuaku.

Sebelum ke kantor, biasanya suamiku mencium pipiku saja dan diikuti anak-anak. Tetapi hari itu, ia juga memelukku sehingga anak-anak menggoda ayahnya dengan ribut. Aku berusaha mengelak dan melepaskan pelukannya. Meskipun akhirnya ikut tersenyum bersama anak-anak. Ia kembali mencium hingga beberapa kali di depan pintu, seakan-akan berat untuk pergi.

Ketika mereka pergi, akupun memutuskan untuk ke salon. Menghabiskan waktu ke salon adalah hobiku. Aku tiba di salon langgananku beberapa jam kemudian. Di salon aku bertemu salah satu temanku sekaligus orang yang tidak kusukai. Kami mengobrol dengan asyik termasuk saling memamerkan kegiatan kami. Tiba waktunya aku harus membayar tagihan salon, namun betapa terkejutnya aku ketika menyadari bahwa dompetku tertinggal di rumah. Meskipun merogoh tasku hingga bagian terdalam aku tak menemukannya di dalam tas. Sambil berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi hingga dompetku tak bisa kutemukan aku menelepon suamiku dan bertanya.

“Maaf sayang, kemarin Farhan meminta uang jajan dan aku tak punya uang kecil maka kuambil dari dompetmu. Aku lupa menaruhnya kembali ke tasmu, kalau tidak salah aku letakkan di atas meja kerjaku.” Katanya menjelaskan dengan lembut.



Dengan marah, aku mengomelinya dengan kasar. Kututup telepon tanpa menunggunya selesai bicara. Tak lama kemudian, handphoneku kembali berbunyi dan meski masih kesal, akupun mengangkatnya dengan setengah membentak. “Apalagi??”
“Sayang, aku pulang sekarang, aku akan ambil dompet dan mengantarnya padamu. Sayang sekarang ada dimana?” tanya suamiku cepat , kuatir aku menutup telepon kembali. Aku menyebut nama salonku dan tanpa menunggu jawabannya lagi, aku kembali menutup telepon. Aku berbicara dengan kasir dan mengatakan bahwa suamiku akan datang membayarkan tagihanku. Si empunya Salon yang sahabatku sebenarnya sudah membolehkanku pergi dan mengatakan aku bisa membayarnya nanti kalau aku kembali lagi. Tapi rasa malu karena “musuh”ku juga ikut mendengarku ketinggalan dompet membuatku gengsi untuk berhutang dulu.

Hujan turun ketika aku melihat keluar dan berharap mobil suamiku segera sampai. Menit berlalu menjadi jam, aku semakin tidak sabar sehingga mulai menghubungi handphone suamiku. Tak ada jawaban meskipun sudah berkali-kali kutelepon. Padahal biasanya hanya dua kali berdering teleponku sudah diangkatnya. Aku mulai merasa tidak enak dan marah.

Teleponku diangkat setelah beberapa kali mencoba. Ketika suara bentakanku belum lagi keluar, terdengar suara asing menjawab telepon suamiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum suara lelaki asing itu memperkenalkan diri, “selamat siang, ibu. Apakah ibu istri dari bapak armandi?” kujawab pertanyaan itu segera. Lelaki asing itu ternyata seorang polisi,* ia memberitahu bahwa suamiku mengalami kecelakaan dan saat ini ia sedang dibawa ke rumah sakit kepolisian. Saat itu aku hanya terdiam dan hanya menjawab terima kasih. Ketika telepon ditutup, aku berjongkok dengan bingung. Tanganku menggenggam erat handphone yang kupegang dan beberapa pegawai salon mendekatiku dengan sigap bertanya ada apa hingga wajahku menjadi pucat seputih kertas.

Entah bagaimana akhirnya aku sampai di rumah sakit. Entah bagaimana juga tahu-tahu seluruh keluarga hadir di sana menyusulku. Aku yang hanya diam seribu bahasa menunggu suamiku di depan ruang gawat darurat. Aku tak tahu harus melakukan apa karena selama ini dialah yang melakukan segalanya untukku. Ketika akhirnya setelah menunggu beberapa jam, tepat ketika kumandang adzan maghrib terdengar seorang dokter keluar dan menyampaikan berita itu. Suamiku telah tiada. Ia pergi bukan karena kecelakaan itu sendiri, serangan stroke-lah yang menyebabkan kematiannya. Selesai mendengar kenyataan itu, aku malah sibuk menguatkan kedua orangtuaku dan orangtuanya yang shock. Sama sekali tak ada airmata setetespun keluar di kedua mataku. Aku sibuk menenangkan ayah ibu dan mertuaku. Anak-anak yang terpukul memelukku dengan erat tetapi kesedihan mereka sama sekali tak mampu membuatku menangis.

Ketika jenazah dibawa ke rumah dan aku duduk di hadapannya, aku termangu menatap wajah itu. Kusadari baru kali inilah aku benar-benar menatap wajahnya yang tampak tertidur pulas. Kudekati wajahnya dan kupandangi dengan seksama. Saat itulah dadaku menjadi sesak teringat apa yang telah ia berikan padaku selama sepuluh tahun kebersamaan kami. Kusentuh perlahan wajahnya yang telah dingin dan kusadari inilah kali pertama kali aku menyentuh wajahnya yang dulu selalu dihiasi senyum hangat. Airmata merebak dimataku, mengaburkan pandanganku. Aku terkesiap berusaha mengusap agar airmata tak menghalangi tatapan terakhirku padanya, aku ingin mengingat semua bagian wajahnya agar kenangan manis tentang suamiku tak berakhir begitu saja. Tapi bukannya berhenti, airmataku semakin deras membanjiri kedua pipiku. Peringatan dari imam mesjid yang mengatur prosesi pemakaman tidak mampu membuatku berhenti menangis. Aku berusaha menahannya, tapi dadaku sesak mengingat apa yang telah kuperbuat padanya terakhir kali kami berbicara.



Aku teringat betapa aku tak pernah memperhatikan kesehatannya. Aku hampir tak pernah mengatur makannya. Padahal ia selalu mengatur apa yang kumakan. Ia memperhatikan vitamin dan obat yang harus kukonsumsi terutama ketika mengandung dan setelah melahirkan. Ia tak pernah absen mengingatkanku makan teratur, bahkan terkadang menyuapiku kalau aku sedang malas makan. Aku tak pernah tahu apa yang ia makan karena aku tak pernah bertanya. Bahkan aku tak tahu apa yang ia sukai dan tidak disukai. Hampir seluruh keluarga tahu bahwa suamiku adalah penggemar mie instant dan kopi kental. Dadaku sesak mendengarnya, karena aku tahu ia mungkin terpaksa makan mie instant karena aku hampir tak pernah memasak untuknya. Aku hanya memasak untuk anak-anak dan diriku sendiri. Aku tak perduli dia sudah makan atau belum ketika pulang kerja. Ia bisa makan masakanku hanya kalau bersisa. Iapun pulang larut malam setiap hari karena dari kantor cukup jauh dari rumah. Aku tak pernah mau menanggapi permintaannya untuk pindah lebih dekat ke kantornya karena tak mau jauh-jauh dari tempat tinggal teman-temanku.

Saat* pemakaman, aku tak mampu menahan diri lagi. Aku pingsan ketika melihat tubuhnya hilang bersamaan onggokan tanah yang menimbun. Aku tak tahu apapun sampai terbangun di tempat tidur besarku. Aku terbangun dengan rasa sesal memenuhi rongga dadaku. Keluarga besarku membujukku dengan sia-sia karena mereka tak pernah tahu mengapa aku begitu terluka kehilangan dirinya.

Hari-hari yang kujalani setelah kepergiannya bukanlah kebebasan seperti yang selama ini kuinginkan tetapi aku malah terjebak di dalam keinginan untuk bersamanya. Di hari-hari awal kepergiannya, aku duduk termangu memandangi piring kosong. Ayah, Ibu dan ibu mertuaku membujukku makan. Tetapi yang kuingat hanyalah saat suamiku membujukku makan kalau aku sedang mengambek dulu. Ketika aku lupa membawa handuk saat mandi, aku berteriak memanggilnya seperti biasa dan ketika malah ibuku yang datang, aku berjongkok menangis di dalam kamar mandi berharap ia yang datang. Kebiasaanku yang meneleponnya setiap kali aku tidak bisa melakukan sesuatu di rumah, membuat teman kerjanya kebingungan menjawab teleponku. Setiap malam aku menunggunya di kamar tidur dan berharap esok pagi aku terbangun dengan sosoknya di sebelahku.

Dulu aku begitu kesal kalau tidur mendengar suara dengkurannya, tapi sekarang aku bahkan sering terbangun karena rindu mendengarnya kembali. Dulu aku kesal karena ia sering berantakan di kamar tidur kami, tetapi kini aku merasa kamar tidur kami terasa kosong dan hampa. Dulu aku begitu kesal jika ia melakukan pekerjaan dan meninggalkannya di laptopku tanpa me-log out, sekarang aku memandangi komputer, mengusap tuts-tutsnya berharap bekas jari-jarinya masih tertinggal di sana. Dulu aku paling tidak suka ia membuat kopi tanpa alas piring di meja, sekarang bekasnya yang tersisa di sarapan pagi terakhirnyapun tidak mau kuhapus. Remote televisi yang biasa disembunyikannya, sekarang dengan mudah kutemukan meski aku berharap bisa mengganti kehilangannya* dengan kehilangan remote. Semua kebodohan itu kulakukan karena aku baru menyadari bahwa dia mencintaiku dan aku sudah terkena panah cintanya.

Aku juga marah pada diriku sendiri, aku marah karena semua kelihatan normal meskipun ia sudah tidak ada. Aku marah karena baju-bajunya masih di sana meninggalkan baunya yang membuatku rindu. Aku marah karena tak bisa menghentikan semua penyesalanku. Aku marah karena tak ada lagi yang membujukku agar tenang, tak ada lagi yang mengingatkanku sholat meskipun kini kulakukan dengan ikhlas. Aku sholat karena aku ingin meminta maaf, meminta maaf pada Allah karena menyia-nyiakan suami yang dianugerahi padaku, meminta ampun karena telah menjadi istri yang tidak baik pada suami yang begitu sempurna. Sholatlah yang mampu menghapus dukaku sedikit demi sedikit. Cinta Allah padaku ditunjukkannya dengan begitu banyak perhatian dari keluarga untukku dan anak-anak. Teman-temanku yang selama ini kubela-belain, hampir tak pernah menunjukkan batang hidung mereka setelah kepergian suamiku.



Empat puluh hari setelah kematiannya, keluarga mengingatkanku untuk bangkit dari keterpurukan. Ada dua anak yang menungguku dan harus kuhidupi. Kembali rasa bingung merasukiku. Selama ini aku tahu beres dan tak pernah bekerja. Semua dilakukan suamiku. Berapa besar pendapatannya selama ini aku tak pernah peduli, yang kupedulikan hanya jumlah rupiah yang ia transfer ke rekeningku untuk kupakai untuk keperluan pribadi dan setiap bulan uang itu hampir tak pernah bersisa. Dari kantor tempatnya bekerja, aku memperoleh gaji terakhir beserta kompensasi bonusnya. Ketika melihatnya aku terdiam tak menyangka, ternyata seluruh gajinya ditransfer ke rekeningku selama ini. Padahal aku tak pernah sedikitpun menggunakan untuk keperluan rumah tangga. Entah darimana ia memperoleh uang lain untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena aku tak pernah bertanya sekalipun soal itu.Yang aku tahu sekarang aku harus bekerja atau anak-anakku takkan bisa hidup karena jumlah gaji terakhir dan kompensasi bonusnya takkan cukup untuk menghidupi kami bertiga. Tapi bekerja di mana? Aku hampir tak pernah punya pengalaman sama sekali. Semuanya selalu diatur oleh dia.

Kebingunganku terjawab beberapa waktu kemudian. Ayahku datang bersama seorang notaris. Ia membawa banyak sekali dokumen. Lalu notaris memberikan sebuah surat. Surat pernyataan suami bahwa ia mewariskan seluruh kekayaannya padaku dan anak-anak, ia menyertai ibunya dalam surat tersebut tapi yang membuatku tak mampu berkata apapun adalah isi suratnya untukku.. ::



Istriku Liliana tersayang,
Maaf karena harus meninggalkanmu terlebih dahulu, sayang. maaf karena harus membuatmu bertanggung jawab mengurus segalanya sendiri. Maaf karena aku tak bisa memberimu cinta dan kasih sayang lagi. Allah memberiku waktu yang terlalu singkat karena mencintaimu dan anak-anak adalah hal terbaik yang pernah kulakukan untukmu.
Seandainya aku bisa, aku ingin mendampingi sayang selamanya. Tetapi aku tak mau kalian kehilangan kasih sayangku begitu saja. Selama ini aku telah menabung sedikit demi sedikit untuk kehidupan kalian nanti. Aku tak ingin sayang susah setelah aku pergi. Tak banyak yang bisa kuberikan tetapi aku berharap sayang bisa memanfaatkannya untuk membesarkan dan mendidik anak-anak. Lakukan yang terbaik untuk mereka, ya sayang.
Jangan menangis, sayangku yang manja. Lakukan banyak hal untuk membuat hidupmu yang terbuang percuma selama ini. Aku memberi kebebasan padamu untuk mewujudkan mimpi-mimpi yang tak sempat kau lakukan selama ini. Maafkan kalau aku menyusahkanmu dan semoga Tuhan memberimu jodoh yang lebih baik dariku.
Teruntuk Farah, putri tercintaku. Maafkan karena ayah tak bisa mendampingimu. Jadilah istri yang baik seperti Ibu dan Farhan, ksatria pelindungku. Jagalah Ibu dan Farah. Jangan jadi anak yang bandel lagi dan selalu ingat dimanapun kalian berada, ayah akan disana melihatnya. Oke, Buddy!



Aku terisak membaca surat itu, ada gambar kartun dengan kacamata yang diberi lidah menjulur khas suamiku kalau ia mengirimkan note.

Notaris memberitahu bahwa selama ini suamiku memiliki beberapa asuransi dan tabungan deposito dari hasil warisan ayah kandungnya. Suamiku membuat beberapa usaha dari hasil deposito tabungan tersebut dan usaha tersebut cukup berhasil meskipun dimanajerin oleh orang-orang kepercayaannya. Aku hanya bisa menangis terharu mengetahui betapa besar cintanya pada kami, sehingga ketika ajal menjemputnya ia tetap membanjiri kami dengan cinta.

Aku tak pernah berpikir untuk menikah lagi. Banyaknya lelaki yang hadir tak mampu menghapus sosoknya yang masih begitu hidup di dalam hatiku. Hari demi hari hanya kuabdikan untuk anak-anakku. Ketika orangtuaku dan mertuaku pergi satu persatu meninggalkanku selaman-lamanya, tak satupun meninggalkan kesedihan sedalam kesedihanku saat suamiku pergi.

Kini kedua putra putriku berusia duapuluh tiga tahun. Dua hari lagi putriku menikahi seorang pemuda dari tanah seberang. Putri kami bertanya, “Ibu, aku harus bagaimana nanti setelah menjadi istri, soalnya Farah kan ga bisa masak, ga bisa nyuci, gimana ya bu?”
Aku merangkulnya sambil berkata “Cinta sayang, cintailah suamimu, cintailah pilihan hatimu, cintailah apa yang ia miliki dan kau akan mendapatkan segalanya. Karena cinta, kau akan belajar menyenangkan hatinya, akan belajar menerima kekurangannya, akan belajar bahwa sebesar apapun persoalan, kalian akan menyelesaikannya atas nama cinta.”
Putriku menatapku, “seperti cinta ibu untuk ayah? Cinta itukah yang membuat ibu tetap setia pada ayah sampai sekarang?”
Aku menggeleng, “bukan, sayangku. Cintailah suamimu seperti ayah mencintai ibu dulu, seperti ayah mencintai kalian berdua. Ibu setia pada ayah karena cinta ayah yang begitu besar pada ibu dan kalian berdua.”
Aku mungkin tak beruntung karena tak sempat menunjukkan cintaku pada suamiku. Aku menghabiskan sepuluh tahun untuk membencinya, tetapi menghabiskan hampir sepanjang sisa hidupku untuk mencintainya. Aku bebas darinya karena kematian, tapi aku tak pernah bisa bebas dari cintanya yang begitu tulus.


=======================================================

Terkadang disaat bersama kita kurang menghargai orang orang yang bersama kita, disaat kehilangan nya baru kita mengenal apa itu arti cinta sebenarnya. Sebelum kita ditinggalkan orang2 yang tercinta, yang setia menemani kita, berikan lah balasan cinta kita sepenuh hati pada mereka, sekarang masih belum terlambat teman2.


Rabu, 02 November 2011

Surat dan doa untuk calon istri


Hai puanku, bila saatnya tiba kau baca surat cintaku ini, aku hanya berharap di hari saat dimana kau kecup punggung tanganku untuk yang pertama kali di hadapan penghulu, para saksi, orang tua kita, saudaramu, saudaraku, sahabatmu, sahabatku, adalah simbol cintamu yang akan selalu ada disisiku sampai Izrail menghampiri kita.

Perempuanku, jangan kaget bila aku menuliskan surat cinta ini jauh dari hari saat kau membacanya. Saat aku belum melihat paras cantikmu, saat aku belum mengenal akhlak muliamu, saat aku belum tahu namamu. Jangan khawatir sayang, dulu kita sudah bertemu. Saat di alam ruh. Allah telah memilihkan kamu untuk menjadi istriku, saat empat bulan masa kandunganku di dalam perut ibu. Sejak saat itu namamu sudah disandingkan di sebelah namaku. Sejak saat itu aku sudah mencintaimu.

Cantik, selain mahar yang kau minta saat pernikahan kita. Aku ingin berikan kau satu lagi: sebuah mukjizat Nabi terakhir. Alquranul Karim, yang akan selalu kau baca dengan suara merdumu, sebagai pelepas lelahku sepulang aku bekerja. Alquranul Karim, yang akan kau ajarkan betapa indah lantunan ayat - ayat suci kepada anak - anak kita nanti. Alquranul Karim, yang akan kau baca tepat disampingku nanti, saat aku terkulai lemah tak lagi berarti walau hanya untuk menjentikan jari. Alquranul Karim, yang akan selalu kau bawa dan kau baca tepat di samping nisanku nanti apabila Izrail menjemputku lebih dulu. Tetap bacakan untukku walau seayat sayang, aku pasti akan merindukan suara bidadariku bernyanyi: Kau mengaji.

Sayang, mungkin aku tak lebih hebat dari ayahmu dalam menjagamu. Aku tak segagah ia melindungi dirimu, mempertahankanmu dari para pria yang menginginkanmu darinya, termasuk aku yang akhirnya ia percayakan sebagai penggantinya untuk menjagamu. Tapi puanku, percayalah. Kaulah alasanku untuk belajar menjadi pria yang kuat. Pria yang rela walau harus sampai mati melindungimu, demi menjaga hatimu, kehormatanmu juga ragamu. Dinginnya malam sekali pun tak akan aku biarkan mengigit kulit indahmu sayang.

Cinta, izinkanlah aku nanti, sebelum kuucapkan ijab qabul pernikahan kita yang disahkan para saksi, kulantunkan selarik ayat suci: An Nisa. 34, sebagai janjiku yang akan selalu melindungimu atas nama laki - laki. Sebagaimana Allah telah mewahyukan ayat itu kepada Muhammad nabi kita.

Hei wanitaku, saat kau sudah menggenapkan agamaku nanti, sesudah kau amini Al-Fatihahku yang pertama kali, setelah pertama kalinya kau cium tanganku selepas sholat, aku ingin saat itu kau selalu jadi pengingatku. Aku hanya manusia yang terkadang lupa, sering melakukan salah, dan laki – laki yang tak peka seperti wanita. Sekali kau memohon: ‘Maukah kau lakukan itu untukku?’ Demi apa pun, apalah arti dunia jika aku melihat air matamu. Kan kulakukan sepenuh hati hanya untukmu hei Batariku.

Hei bidadariku, aku berjanji.Tanpa sedikit pun aku menentang hal yang pernah dilakukan Rasulullah. Saat kau menjadi istriku nanti, akan kujadikan kau satu – satunya di dunia dan akhirat. Seperti halnya Sayidina Ali Radliallahuanhu menjadikan Fatimah Az Zahra satu – satunya bidadari bumi yang dimilikinya.

Kasih, tenanglah. Saat aku telah menjadi imammu nanti, tak akan pernah berhenti aku mencari rezeki. Selama masih keluar keringat kuperas dari tubuhku, selama masih kuat kubanting tulang punggungku, aku akan terus menafkahimu. Tak akan kubiarkan kau dan anak – anak kita kelaparan dan kehausan. Kupastikan kalian tak akan pernah kekurangan cintaku, sayang.

Jelita, kalau boleh aku meminta. Aku menginginkan putri yang menjadi buah hati kita yang pertama. Kita didik ia menjadi anak yang shalehah, dan kan kutanam sekeping jiwamu pada dirinya. Agar apabila nanti kau dipanggil lebih dulu oleh Pemilikmu yang sebenar – benarnya, aku masih bisa melihat kamu dalam diri putri kita. Dan aku ingin putra kita hanya terpaut satu tahun dengan kakaknya. Agar ia bisa tumbuh dewasa bersama saudari kandungnya. Dan akan kutempa dia agar menjadi pria yang kuat, bahkan melebihi aku. Agar apabila nanti aku yang kembali lebih dulu ke sisiNya, ia bisa menjaga ibu dan kakaknya seperti yang telah kulakukan dan kuajarkan kepadanya.

Manis, saat aku resmi menjadi suamimu nanti. Tak kan kulewatkan pagi tanpa mengecup keningmu yang harum. Kan kulakukan tiap aku hendak bekerja, atau tiap kali aku pergi meninggalkanmu. Dan akan selalu kulisankan tiga kata setelah bibirku ini meletakkan cinta di wajahmu: I love you. Dan tak akan kulewatkan pula detik berharga sebelum kau memejamkan mata, kembali kan kuletakkan cinta di kening atau pipimu. Aku tak akan bosan menciummu setiap hari, sayang. Seperti halnya nabimu juga nabiku yang tak pernah bosan melakukan hal romantis ini kepada istrinya setiap hari.

Bidadariku, aku tahu perjalanan bahtera kita tak akan selalu berlangit cerah. Syaitan pun tak kan pernah berhenti merusak hidup manusia sampai kiamat tiba. Maka ingatkanlah aku dengan kelembutan hatimu, agar tak ada hal lain yang kulakukan untukmu selain mencintaimu dan melindungimu. Sungguh aku tahu wanita itu tercipta dari tulang rusuk pria yang paling bengkok. Maka tak akan kupaksa ‘tuk luruskan engkau hingga patah, dan tak akan pula kubiarkan engkau tetap bengkok. Islam yang akan selalu menuntunku bagaimana seharusnya aku memperlakukanmu.

Sayang percayalah, aku akan selalu mencintaimu di tiap waktuku. Aku akan tetap menciummu, meski pipimu tak lagi sekencang dulu, meski keriput tlah menggarisi keningmu. Aku akan tetap membelai rambutmu, meski putih telah memakan habis hitamnya yang indah. Aku akan tetap memelukmu, meski bungkuk badanmu dan ringkih tubuhmu, aku akan tetap memelukmu.

Berjanjilah cinta, apabila tiba saatnya Izrail memamerkan surga dan neraka di kedua sayapnya di hadapanku. Jangan pernah berhenti bisikkan nama Allah di telingaku, jangan pernah kau lepas genggaman tanganku dan jangan dulu jatuhkan air matamu sebelum malaikat benar – benar mencabut ruh dari ragaku. Sudah kubilang: Apalah arti dunia jika aku melihat air matamu.
Tenanglah kasih, batu nisan memang akan pisahkan dunia kita nanti, tapi dia tak akan mampu pisahkan cinta kita. Aku mencintaimu tak hanya di dunia.

Semoga Allah mengabulkan doa di tiap sujudku, agar pernikahan kita tak hanya dilanggengkan di dunia, tapi juga diabadikan di taman surgaNya. Amin…
Aku mencintaimu karena Allah, bidadari surgaku

Calon Imam hidupmu

Minggu, 30 Oktober 2011

Kisah Tragis Sebuah Keluarga

[diharapkan kesabaran pembaca untuk membaca crita ini]




25 tahun yang lalu, 
Inikah nasib? Terlahir sebagai menantu bukan pilihan. Tapi aku dan Kania harus tetap menikah. Itu sebabnya kami ada di Kantor Catatan Sipil. Wali kami pun wali hakim. Dalam tiga puluh menit, prosesi pernikahan kami selesai. Tanpa sungkem dan tabur melati atau hidangan istimewa dan salam sejahtera dari kerabat. Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana, ingin hidup bahagia.

22 tahun yang lalu, 
pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan. Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali, orangtuaku dan orangtua Kania tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat nanti, mereka pasti akan berubah.

19 tahun yang lalu, 
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi ke lantai kemudian berteriak "Horeee, Iya bisa terbang". Begitulah dia memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar di pot halaman rumah. Dan Kania tak jarang berteriak, "Iya sayaaang," jika sudah terdengar suara "Prang". Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga, gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu dia melompat dari
tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya terpental. Dan dia cuma
bilang "Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah, Ma?"

18 tahun yang lalu, 
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy apalagi jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya. "Nanti kalau sudah besar, Iya mau jadi pemain bola!" tapi aku tidak suka dia menangis terus minta bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa punya lawan main setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu kutunjukkan bola itu. "Horee, Iya jadi pemain bola."

17 Tahun yang lalu, 
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnyanya dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang dari sekolah dan ia semakin ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan "Iyaaaa". Sebuah truk pasir telak menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania menangis sedih, bibir cuma berkata "Coba kalau kamu tak belikan ia bola!"

15 tahun yang lalu, 
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur. Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah. Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi ke Malaysia.

13 tahun yang lalu, 
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.

10 tahun yang lalu, 
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti ibunya. "Biar cantik kalo kere ya kelaut aje." Mungkin itu kata-kata yang sering kudengar. Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung menangis juga. "Sabar ya, Nak!" hiburku. "Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar tidak diganggu!" pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu, hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.

7 tahun yang lalu,
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku, kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya. Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP. Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah itu dia akan pulang, menemaniku kembali dan
membuka usaha kecil-kecilan. Seperti waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa
untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa agar Kamilaku baik-baik saja.

4 tahun lalu,
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga tahun dia di sana. Dia
bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya. Tapi Kamila tidak suka
dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia akan berhenti bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa salat dan kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa mungkin untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai menasihati daripada aku. Dan aku bangga.

3 tahun 6 bulan yang lalu,
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati, karena dia terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini. Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin membunuh. Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.

2 tahun 6 bulan yang lalu,
Akhirnya putusan itu jatuh juga, anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantung sebagai balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak izinkan dia pergi apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Wahai Allah kuatkan aku. Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia. Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali. Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin melepaskan aku.
"Bapak, Iya Takut!" aku memeluknya lebih erat lagi. Andai bisa ditukar, aku
ingin menggantikannya.
"Kenapa, Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?"
"Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya, Pak. Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!" Aku perih mendengar itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.



2 tahun yang lalu,
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan 'blass" Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati, jenazah anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sinis. Aku mendongakkan kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah yang kukenal.
"Kania?"
"Mas Har, kau ... !"
"Kau ... kau bunuh anakmu sendiri, Kania!"
"Iya ? Dia..dia . Iya ?" serunya getir menunjuk jenazah anakku.
"Ya, dia Iya kita. Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar."
"Tidak ... tidaaak ... " Kania berlari ke arah jenazah anakku. Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang petugas menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya "Terima kasih Mama." Aku baru sadar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu ibunya.

Setahun lalu,
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih istriku. Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku, Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering berteriak, "Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak." Kamu tahu Kania, kali ini yang pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak seharusnya kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah begitu Iya sayang?